Minggu, 21 April 2019


NAMA            :   FEBRIAN SETIAWAN
NPM               :   17 630 054

KONSEP DASAR PENGADAAN

·       
Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa merupakan instrumen baru yang dikeluarkan oleh pemerintah pada awal tahun 2014 yang diikuti dengan PP No 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa dan PP No 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN.
Peraturan Mendagri No 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa memberikan arah penyempurnaan atas Peraturan Mendagri No 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Struktur pengelolaan telah diperjelas, begitupun alur pengelolaan keuangan desa dan klasifikasi APBDesa telah diperbarui.
Sedangkan mengenai BUM Desa dan prioritas penggunaan Dana Desa telah juga diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No 4 dan No 5 Tahun 2015.
Situs Keuangan DESA dirancang sebagai ruang berbagi bersama; diharapkan situs ini mampu membantu memahami seluk beluk tata pengelolaan keuangan desa, dan pada akhirnya mampu mendorong terbangunnya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan desa.

Peraturan perundang-undangan Indonesia


·         1Jenis dan Hierarki
·         5Lihat pula

Jenis dan Hierarki

Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
1.     UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
2.     Ketetapan MPR
4.     Peraturan Pemerintah (PP)
5.     Peraturan Presiden (Perpres)
6.     Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Aceh, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
7.     Peraturan Desa
Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Sedangkan peraturan perundang-undangan selain yang tercantum di atas, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Undang Undang Dasar 1945

Artikel utama: UUD 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Naskah resmi UUD 1945 adalah:
·         Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekret Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 juli 1959
·         Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).
Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

Ketetapan MPR

Artikel utama: Ketetapan MPR
Perubahan (Amendemen) Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPRDPDBPKMA, dan MK).
Dengan demikian MPR kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat penetapan, yaitu menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

 

Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Materi muatan Undang-Undang adalah:
·         Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
·         Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang Dasar 1945 untuk diatur dengan Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR
·         Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
·         DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
·         Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.

Peraturan Pemerintah         

Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Peraturan Presiden

Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Daerah

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/wali kota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pengundangan Peraturan Perundang-undangan

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.

Bahasa dalam Peraturan Perundang-undangan

Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Penyerapan kata atau frasa bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frasa tersebut memiliki konotasi yang cocok, lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia, mempunyai corak internasional, lebih mempermudah tercapainya kesepakatan, atau lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Asas dalam Peraturan Perundang-undangan

Ada 4 asas peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1.     Asas legalitas
2.     Asas hukum tinggi disampingkan hukum rendah (Lex superior derogat legi inferior)
3.     Asas hukum khusus disampingkan hukum umum (Lex specialis derogat legi generali)
4.     Asas hukum baru disampingkan hukum lama (Lex posterior derogat legi priori)


Senin, 15 April 2019

HARGA PERKIRAAN SENDIRI ( HPS )






 atau Harga Perkiraan Sendiri merupakan harga barang/jasa yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai HPS didasarkan pada riwayat HPS yang diperoleh dari riset harga pasar, baik lewat media online berupa toko online maupun harga toko supplier. Nilai total HPS terbuka dan tidak rahasia. Namun, untuk Rincian Harga Satuan dalam perhitungan HPS bersifat rahasia.  

Yang dimaksud dengan nilai total HPS adalah hasil perhitungan seluruh volume pekerjaan dikalikan dengan Harga Satuan ditambah dengan seluruh beban pajak, pajak PPn.
Untuk saat ini, harga HPS sudah bisa ditentukan untuk tiap itemnya menggunakan e-budgeting. E-budgeting adalah sistem penyusunan anggaran yang didalamnya termasuk aplikasi program komputer berbasis web untuk memfasilitasi proses penyusunan anggaran belanja daerah. Pelaksanaan e-budgeting dalam APBD tidak rawan kebocoran. Karena pelaksanaannya akan diawasi secara ketat oleh masing-masing Gubernur dan Wakil Gubernur di setiap daerah. Seperti diketahui bersama penyusunan HPS ini dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan meliputi:
Harga Pasar Setempat yaitu harga barang/jasa di lokasi barang/jasa diproduksi/diserahkan/dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya Pengadaan Barang/Jasa;
Informasi Biaya Satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);
Informasi Biaya Satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
Daftar Biaya/Tarif Barang/Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal;
Biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya;
Inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;
Hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain;
Perkiraan Perhitungan Biaya yang dilakukan oleh Konsultan Perencana (Engineer’s Estimate);
Norma Indeks; dan/atau
Informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kegunaan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
HPS sendiri memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah:
Alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya
Dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah
Dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya lebih rendah dari 80% (delapan puluh prosen) nilai total HPS.

Proses Penyusunan HPS Berdasarkan Perlem No. 9 Tahun 2018
Posted by Sukri Almarosy on July 09, 2018
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah perkiraan harga barang/jasa yang ditetapkan oleh PPK
Pada pengadaan barang/jasa pemerintah setelah spesifikasi ditetapkan, langkah berikutnya adalah menyusun harga perkiraan sendiri (HPS) yang akan digunakan dasar menilai kewajaran harga penawaran dari calon penyedia.
Berikut ini adalah dua resiko yang mungkin terjadi apabila penetapan HPS di sektor pemerintahan dilakukan secara kurang cermat :
a. Apabila HPS yang ditetapkan terlalu rendah, besar kemungkinan pengadaan akan mengalami kegagalan karena semua penawaran penyedia berada di atas HPS sehingga tidak ada satupun yang dapat ditetapkan sebagai pemenang.
b. Apabila HPS yang ditetapkan terlalu tinggi, terdapat kemungkinan terjadinya kerugian negara apabila pihak berwenang menemukan adanya perbuatan melawan hukum baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Tuduhan adanya penggelembungan harga atau mark up sangat mungkin terbukti apabila HPS yang ditetapkan melebihi harga pasar tanpa ada penjelasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. 





PPK menyusun HPS berdasarkan pada:
a.                  hasil perkiraan biaya/Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang telah disusun pada tahap perencanaan pengadaan;
b.                 Pagu Anggaran yang tercantum dalam DIPA/DPA atau untuk proses pemilihan yang dilakukan sebelum penetapan DIPA/DPA mengacu kepada Pagu Anggaran yang tercantum dalam RKA K/L atau RKA Perangkat Daerah; dan
c.                   hasil reviu perkiraan biaya/Rencana Anggaran Biaya (RAB) termasuk komponen keuntungan, biaya tidak langsung (overhead cost), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PPK dapat menetapkan tim atau tenaga ahli yang bertugas memberikan masukan dalam penyusunan HPS.
HPS dihitung secara keahlian dan menggunakan data/informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Data/informasi yang dapat digunakan untuk menyusun HPS antara lain:
a.  harga pasar setempat yaitu harga barang/jasa di lokasi barang/jasa diproduksi/diserahkan/dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya pemilihan Penyedia;
b.  informasi biaya/harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah;
c.   informasi biaya/harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi. Yang dimaksud dengan asosiasi adalah asosiasi profesi keahlian, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Informasi biaya/harga satuan yang dipublikasikan termasuk pula sumber data dari situs web komunitas internasional yang menayangkan informasi biaya/harga satuan profesi keahlian di luar negeri yang berlaku secara internasional termasuk dimana Pengadaan Barang/Jasa akan dilaksanakan;
d.  daftar harga/biaya/tarif barang/jasa setelah dikurangi rabat/ potongan harga (apabila ada) yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor/agen/pelaku usaha;
e.   inflasi tahun sebelumnya, suku bunga pinjaman tahun berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia valuta asing terhadap Rupiah;
f.   hasil perbandingan biaya/harga satuan barang/jasa sejenis dengan Kontrak yang pernah atau sedang dilaksanakan;
g.  perkiraan perhitungan biaya/harga satuan yang dilakukan oleh konsultan perencana (engineer’s estimate);
h.  informasi biaya/harga satuan barang/jasa di luar negeri untuk tender/seleksi internasional; dan/atau
i.   informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Total HPS merupakan hasil perhitungan HPS ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). HPS tidak boleh memperhitungkan biaya tak terduga, biaya lain-lain, dan Pajak Penghasilan (PPh). Nilai HPS bersifat terbuka dan tidak bersifat rahasia. Sedangkan rincian harga satuan bersifat rahasia, kecuali rincian harga satuan tersebut telah tercantum dalam Dokumen Anggaran Belanja.
Perhitungan HPS untuk masing-masing jenis barang/jasa sebagai berikut:
a.     Barang
Perhitungan HPS untuk barang harus memperhitungkan komponen biaya antara lain:
1)     Harga barang;
2)     Biaya pengiriman;
3)     Keuntungan dan biaya overhead;
4)     Biaya instalasi;
5)     Suku cadang;
6)     Biaya operasional dan pemeliharaan; atau
7)     Biaya pelatihan.
Perhitungan    komponen   biaya disesuaikan dengan        survei yang dilakukan.
b.     Pekerjaan Konstruksi
Perhitungan HPS untuk Pekerjaan Konstruksi berdasarkan hasil perhitungan biaya harga satuan yang dilakukan oleh konsultan perencana (Engineer’s Estimate) berdasarkan rancangan rinci (Detail Engineering Design) yang berupa Gambar dan Spesifikasi Teknis.
Perhitungan HPS telah memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi sebesar 15% (lima belas persen).
c.     Jasa Konsultansi
Perhitungan HPS untuk Jasa Konsultansi dapat menggunakan:
1)     Metode Perhitungan berbasis Biaya (cost-based rates)
Perhitungan HPS yang menggunakan metode perhitungan tarif berbasis biaya terdiri dari :
a)     Biaya langsung personel (Remuneration); dan
b)     Biaya langsung non personel (Direct Reimbursable Cost).
Biaya Langsung Personel adalah biaya langsung yang diperlukan untuk membayar remunerasi tenaga ahli berdasarkan Kontrak. Biaya Langsung Personel telah memperhitungkan gaji dasar (basic salary), beban biaya sosial (social charge), beban biaya umum (overhead cost), dan keuntungan (profit/fee).
Biaya Langsung Personel dapat dihitung menurut jumlah satuan waktu tertentu (bulan (SBOB), minggu (SBOM), hari (SBOH), atau jam (SBOJ)), dengan konversi menurut satuan waktu sebagai berikut:
Satuan Biaya Orang Minggu (SBOM)                   = SBOB/4,1
Satuan Biaya Orang Hari (SBOH)               = (SBOB/22) x 1,1 Satuan Biaya Orang Jam (SBOJ)                  = (SBOH/8) x 1,3
Biaya Langsung Non Personel adalah biaya langsung yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan Kontrak yang dibuat dengan mempertimbangkan dan berdasarkan harga pasar yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan serta sesuai dengan perkiraan kegiatan. Biaya Non Personel dapat dibayarkan secara Lumsum, Harga Satuan dan/atau penggantian biaya sesuai yang dikeluarkan (at cost).
Biaya Non Personel yang dapat dibayarkan secara Lumsum diantaranya pengumpulan data sekunder, seminar, workshop, sosialisasi, pelatihan, diseminasi, lokakarya, survei, biaya tes laboratorium, hak cipta dan lain-lain.
Biaya Non Personel yang dapat dibayarkan secara Harga Satuan diantaranya sewa kendaraan, sewa kantor proyek, sewa peralatan kantor, biaya operasional kantor proyek, biaya ATK, biaya komputer dan pencetakan, biaya komunikasi dan tunjangan harian.
Biaya Non Personel yang dapat dibayarkan melalui penggantian biaya sesuai yang dikeluarkan (at cost) diantaranya dokumen perjalanan, tiket transportasi, biaya perjalanan, biaya kebutuhan proyek dan biaya instalasi telepon/internet/situs web.
Biaya Langsung Non Personel pada prinsipnya tidak melebihi 40% (empat puluh persen) dari total biaya, kecuali untuk  jenis pekerjaan konsultansi yang bersifat khusus, seperti: pekerjaan penilaian aset, survei untuk memetakan cadangan minyak bumi, pemetaan udara, survei lapangan, pengukuran, penyelidikan tanah dan lain-lain.
2)    Metode Perhitungan Berbasis Pasar (market-based rates)
Perhitungan HPS yang menggunakan metode perhitungan berbasis pasar dilakukan dengan membandingkan biaya untuk menghasilkan keluaran pekerjaan/output dengan tarif/harga yang berlaku di pasar.
Contoh : jasa konsultansi desain halaman situs web.
3)    Metode Perhitungan Berbasis Keahlian (value-based rates)
Perhitungan HPS yang menggunakan metode perhitungan berbasis keahlian dilakukan dengan menilai tarif berdasarkan ruang lingkup keahlian/reputasi/hak eksklusif yang disediakan/dimiliki jasa konsultan tersebut.
Contoh : jasa konsultansi penilai integritas dengan menggunakan sistem informasi yang telah memiliki hak paten.

d.     Jasa Lainnya
Perhitungan HPS untuk Jasa Lainnya      harus memperhitungkan komponen biaya sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan antara lain:
1)     Upah Tenaga Kerja;
2)     Penggunaan Bahan/Material/Peralatan;
3)     Keuntungan dan biaya overhead;
4)     Transportasi; dan
5)     Biaya lain berdasarkan jenis jasa lainnya.
PPK   mendokumentasikan     data   riwayat        dan    informasi pendukung dalam rangka penyusunan HPS.
Dalam penyusunan HPS dapat merujuk kepada buku informasi Unit Kompetensi 06: Menyusun Harga Perkiraan dari modul pelatihan
berbasis kompetensi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berdasarkan SKKNI 2016.

 

 

 

 

 

 

Panduan Penyusunan HPS agar Tidak Terkena Kasus Mark-up dan Tidak Gagal Lelang

 

Dalam proses pengadaan barang dan jasa,salah satu tahapan yang paling krusial bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Penyusunan HPS akan menentukan proses penawaran oleh penyedia barang dan jasa. Apabila HPS ditetapkan lebih mahal dari harga wajar maka akan menimbulkan potensi adanya kerugian negara atau biasa yang dianggap dengan pelembungan harga (mark-up) dan dianggap telah terjadi persekongkolan antara pejabat pengadaan dengan penyedia barang. Akan tetapi, apabila ditetapkan lebih rendah dari harga wajar berpotensi untuk terjadinya tender gagal karena tidak ada penyedia barang yang berminat untuk mengikuti lelang pengadaan. Oleh karenanya, Pengadaan.web.id bakal memberikan panduan dalam penyusunan HPS bagi PPK agar tidak terkena kasus mark-up dan lelang banyak penyedia yang berminat untuk mengikuti pelelangan.

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah perhitungan biaya atas pekerjaan barang/jasa sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggung-jawabkan. Setiap pengadaan harus dibuat HPS kecuali pengadaan yang menggunakan bukti perikatan berbentuk bukti pembayaran, jadi HPS digunakan untuk pengadaan dengan tanda bukti perjanjian berupa dokumen kontrak arau SPK, kuitansi, dan surat perjanjian.

Manfaat dan Sumber Data Penyusunan HPS

Manfaat penyusunan HPS adalah :

a. alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya;

b. dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk pengadaan;

c. dasar untuk negosiasi harga dalam Pengadaan Langsung dan Penunjukan Langsung;

d. dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Penawaran (1-3% dari HPS)

Contoh :

Nilai HPS suatu pekerjaan misalkan sebesar Rp. 1.000.000.000,-, Panitia pengadaan, menetapkan besarnya jaminan penawaran, misalkan sebesar 2% dari HPS/OE. Ini berarti penyedia barang/jasa harus menyampaikan jaminan penawaran senilai Rp. 20.000.000,- (berapapun harga penawaran yang disampaikan untuk pekerjaan tersebut)

e. dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya lebih rendah dari 80% (delapan puluh perseratus) nilai total HPS.

CONTOH :

Nilai HPS suatu pekerjaan misalkan sebesar Rp. 10.000.000.000,- Penyedia barang/jasa menyampaikan penawaran harga (setelah terkoreksi) sebesar Rp. 7.000.000.000,- atau 70% dari HPS/OE. Kalau tanpa tambahan jaminan pelaksanaan, jumlah jaminan pelaksanaan = 5% x HPS= 5% x Rp. 10.000.000.000,- = Rp. 500.000.000,-.

Penyusunan HPS dikalkulasikan berdasarkan keahlian dan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan. Data yang dipakai untuk menyusun HPS meliputi:

a. harga pasar setempat yaitu harga barang dilokasi barang diproduksi/ diserahkan/ dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya pengadaan barang;

b. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);

c. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;

d. daftar biaya/tarif Barang yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal;

e. biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya;

f. inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;

g. hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain;

h. norma indeks; dan/atau

i. informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk pemilihan Penyedia secara internasional, penyusunan HPS menggunakan informasi harga barang/jasa yang berlaku di luar negeri.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyusun HPS adalah :

a. HPS telah memperhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan
b. HPS memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar bagi Penyedia;

c. HPS tidak boleh memperhitungkan biaya tak terduga, biaya lain-lain dan Pajak Penghasilan (PPh) Penyedia.

d. nilai total HPS terbuka dan tidak rahasia.

e. riwayat HPS harus didokumentasikan secara baik.

f. HPS tidak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan kerugian negara;

g. Tim Ahli dapat memberikan masukan dalam penyusunan HPS;

Dalam penetapan HPS harus memperhatikan jangka waktu penggunaan HPS, hal ini terkait dengan tingkat keakuratan data-data barang baik spesifikasi maupun harga. Oleh karena itu HPS ditetapkan :

a. paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi; atau

b. paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya prakualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi.

Sesuai dengan istilahnya bahwa HPS adalah perkiraan dan patokan semata sehingga yang paling mendasar dalam penyusunan HPS adalah bagaimana penyusun memahami karakteristik barang/jasa yang diadakan dan kecenderungan harga.

Pejabat PPK melakukan Mark up?


Bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sebagai pejabat yang menyusun dan menetapkan HPS ibarat makan buah simalakama. Yang mana apabila HPS lebih mahal dari harga pasar berpotensi MARK-UP, namun jika lebih rendah atau sama dengan harga pasar berpotensi tidak ada yang berminat untuk mengikuti lelang. Dampaknya adalah adanya gagal lelang dengan kata lain akan memperpanjang waktu pengadaan barang dan jasa.

Mengapa PPK menetapkan harga diatas harga pasar?. Berdasarkan pasal 66 ayat 8 Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012, HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar. Kewajaran yang dimaksud ini tanpa dibatasi nilai tertentu sehingga bagi PPK tentu secara aturan tidak salah jika menambah nilai keuntungan dengan prosentase atau nominal tertentu.

Jika semata-mata untuk menambah nilai keuntungan bagi penyedia tentu ini alasan yang tidak tepat, tetapi harusnya penambahan nilai keuntungan lebih ditekankan untuk menambah minat penyedia barang dan jasa untuk berkompetisi dalam pengadaan barang/jasa.

Misalnya berdasarkan daftar harga yang di publikasikan oleh toko online bhinneka.com , harga komputer yang tertera untuk satu spesifikasi tertentu seharga Rp.12.000.000,-. Berdasarkan harga tersebut, apabila PPK yang bertugas pada satuan kerja berlokasi di jakarta, akan menyusun HPS untuk pengadaan 200 unit komputer, berapa nilai HPS yang akan ditetapkan?

Rumus sederhana untuk menghitung HPS adalah


Harga satuan = analisa harga + keuntungan wajar

HPS sblm PPN = Harga satuan x volume

HPS = HPS sblm PPN + (HPS sblm PPN x 10%)

Berdasarkan rumusan tersebut, penyusunan HPS harus memperhitungkan komponen keuntungan wajar. Berapa batasan keuntungan yang wajar? Tentu PPK menetapkan dengan pertimbangan menghindari markup dan kurangnya minat penyedia. Definisi Mark-up adalah perbedaan antara biaya untuk menyediakan produk atau jasa, dengan harga jualnya. Tidak sama dengan marjin laba.

Pada dasarnya daftar harga yang dipublikasikan oleh sumber informasi yang berasal dari toko tentu sudah terdapat unsur keuntungan. Apabila dalam penyusunan HPS ditambah lagi dengan keuntungan, berdasarkan definisi diatas, dapat masuk dalam kategori markup.

Jika PPK menetapkan nilai keuntungan yang wajar adalah 5% dari harga yang dipublikasikan, berdasarkan contoh kasus diatas maka total HPS adalah

Harga satuan = 12.000.000 + (5%x12.000.000)

Harga satuan = 12.000.000 + 600.000

Harga satuan = 12.600.000,-

HPS sebelum PPN = 12.600.000 x 200 unit

HPS = 2.520.000.000

Dalam komponen HPS terdapat nilai uang sebesar Rp.600.000,- x 200 = 120.000.000,- sebagai nilai keuntungan disediakan untuk calon penyedia barang. Darimana cara kita memandang nilai kewajaran, margin 5% atau total nilai tambahan keuntungan Rp.120.000.000,-.

Bersalahkah PPK ?

Dalam batasan ini apakah PPK bersalah dalam menetapkah HPS? berdasarkan analisa, penetapan HPS tersebut tidak salah, karena PPK juga harus mempertimbangkan minat dari calon penyedia barang/jasa untuk mengikuti proses pelelangan. Tentu dengan asumsi bahwa dalam proses pelelangan tidak terjadi adanya KKN antara para penyedia barang dan jasa. Dengan kata lain terjadi persaingan yang sehat dan sempurna antar calon penyedia barang dan jasa dalam mengajukan penawaran.

Apabila harga ditetapkan terlalu rendah sehingga calon penyedia barang/jasa tidak berminat akan berdampak pada gagalnya tender/lelang. Tentu hal ini akan berdampak pada bertambahnya alokasi waktu untuk pelelangan dan molornya rencana penyelesaian pekerjaan.


Perjanjian Penyediaan Jasa


NAMA           :   FEBRIAN SETIAWAN
NPM               :   17 630 054

Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh dan Syaratnya
Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban para pihak.

Dari istilah Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh ini, setidaknya ada 2 (dua) pihak dalam perjanjian ini, yaitu:
a.    Perusahaan pemberi pekerjaan, yaitu perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b.    Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, yaitu perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.

Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman(security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.

Persyaratan yang harus dipenuhi penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah sebagai berikut:
a.    Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b.    Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja tersebut adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentuyang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja waktu tertentu yang objek kerjanya tetap ada, perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memuat:[15]
                              i.        jaminan kelangsungan bekerja;
                             ii.        jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
                            iii.        jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah.

Jika perjanjian kerja waktu tertentu tidak memuat ketentuan di atas, maka hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berubah menjadi hubungan kerja yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu sejak ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi persyaratan.

Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 yang mengatur bahwa frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

c.    Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Pada intinya adalah pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak dimaksudkan untuk pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi saat bekerja pada perusahaan pemberi kerja.

Perbedaan Pemborongan Pekerjaan Dengan Penyediaan Jasa Pekerja
Mengenai perbedaan pemborongan pekerjaan dengan penyediaan jasa pekerja, praktisi hukum hubungan industrial sekaligus mantan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Juanda Pangaribuan, menjelaskan bahwa cakupan material pada Pemborongan Pekerjaan itu lebih luas. Berikut kami rangkum perbedaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dan Perjanjian Perusahaan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh menurut Juanda Pangaribuan:

No.
Perusahaan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Pemborongan Pekerjaan
1
Disediakan sejumlah sumber daya manusia untuk satu pekerjaan tertentu yangharga atau nilainya berdasarkan gaji pekerja itu sendiri yang ditambah dengan komisi/fee dari perusahaan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh.

Yang diborongkan adalah satu pekerjaan tertentu yang nilainya berdasarkan jenis pekerjaannya, ruang lingkup pekerja, objek yang mau dipekerjakan.

Cakupan nilainya lebih luas dari pada Perusahaan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh. Yang diperhitungkan adalah satu jenis pekerjaan, misalnya pemborongan mendirikan suatu gedung, yang dinilai adalahmaterial untuk membangun gedung tersebut, sumber daya manusia yang mengerjakan, berapa lama waktu penyelesaiannya, dan sebagainya.

2
Hasilnya dinilai darikomisi/fee yang didapat pekerja dari perusahaan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh.

Hasilnya bukan dari komisiyang didapat pekerja, melainkan sisa hasil proyek yang diborongkan itu.
3
Dilakukan dengan perintah langsung dari user(perusahaan yang menggunakan jasa pekerja).

Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan (user).[17]Pekerjanya langsung dikendalikan oleh perusahaan pemborong (perusahaan penerima pemborongan) itu sendiri.

4
Pekerja bekerja langsung di tempat user dan kualifikasi pekerja ditentukan oleh user.

Pekerja dan pekerjaannya tidak di tempat user.




Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Catatan:
Klinik Hukumonline telah menanyakan pertanyaan ini melalui wawancara via telepon dengan praktisi hukum hubungan industrial sekaligus mantan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Juanda Pangaribuan, S.H., M.H. pada 4 Januari 2018 pukul 13.07 WIB.

Dasar hukum:

Putusan:




[2] Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Permenakertrans 19/2012
[3] Pasal 65 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans 19/2012
[5] Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU Ketenagakerjaan
[6] Pasal 65 ayat (6) UU Ketenagakerjaan
[7] Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011
[8] Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan
[9] Pasal 1 angka 5 Permenakertrans 19/2012
[10] Pasal 1 angka 1 dan angka 3 Permenakertrans 19/2012
[11] Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[12] Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[13] Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[14] Perlu diketahui, hal ini tidak berlaku jika dalam perjanjian kerja tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak pekerja yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 yang dibacakan pada 17 Januari 2012).
[15] Pasal 29 ayat (2) Permenakertrans 19/2012
[16] Pasal 30 Permenakertrans 19/2012
[17] Pasal 3 ayat (2) huruf b Permenakertrans 19/2012

PERPANJANGAN WAKTU KONTRAK DAN PEMBERIAN KESEMPATAN DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Sebagaimana diketahui bahwa Instansi Pemerintah, baik yang mengelola dana APBN, APBD, ataupun BUMN/BUMD erat kaitannya dengan pengadaan barang/jasa. Bisa dikatakan, keseharian dari instansi tersebut tidak terlepas dengan pengadaan barang/jasa. Pada artikel ini, kami akan mencoba menguraikan terkait dengan salah satu tema yang sering terjadi kekeliruan pemahaman di lapangan sehingga tidak jarang kemudian menimbulkan permasalahan, yaitu terkait dengan perpanjangan waktu kontrak dan pemberian kesempatan untuk penyelesaian pekerjaan.
ADDENDUM PERPANJANGAN WAKTU KONTRAK
Addendum perpanjangan waktu kontrak adalah perubahan kontrak yang berupa perpanjangan waktu pelaksanaan kontrak karena adanya perubahan kondisi lapangan, force majeure, dan/atau peristiwa kompensasi yang menuntut perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan.
Ada beberapa kriteria keadaan dapat dikategorikan sebagai Foce Majeure, diantaranya:
Ada pernyataan force majeure dari instansi yang berwenang (bencana alam, bencana sosial, kerusuhan, kejadian luar bsa, dan gangguan industri).
Selain kategori force majeure di atas, tidak diperlukan pernyataan dari instansi yang berwenang, tetapi diperlukan bukti/data terkait force majeure, misalnya data curah hujan dari BMKG, pemotongan anggaran oleh Kementerian Keuangan, atau terjadi kondisi yang tidak dapat dikendalikan oleh para pihak.
Kejadian force majeure menuntuk adanya perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan.
Sedangkan untuk peristiwa kompensasi adalah terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
PPK mengubah jadwal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan.
Keterlambatan pembayaran kepada penyedia.
PPK tidak memberikan gambar-gambar, spesifikasi dan/atau instruksi sesuai jadwal yang dibutuhkan.
PPK menginstruksikan kepada pihak penyedia untuk melakukan pengujian tambahan yang setelah dilakukan pengujian ternyata tidak ditemukan kerusakan/kegagalan/penyimpangan.
PPK memerintahkan penundaan pelaksanaan pekerjaan.
Ketentuan lain dalam SSKK.
PEMBERIAN KESEMPATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN
Pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan adalah pemberian kesempatan dari PPK kepada penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan akibat terjadinya keterlambatan penyelesaian pekerjaan karena kesalahan penyedia barang/jasa.
Syarat-syarat pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan, diantaranya:
Tidak boleh direncakan sebelum penandatanganan kontrak.
Analisis PPK menyimpulkan bahwa lebih efisien dan bermanfaat apabila penyedia diberi kesempatan menyelesaikan pekerjaan.
Penyedia dinilai dan membuat pernyataan sanggup menyelesaikan pekerjaan apabila diberi kesempatan.
Memperpanjang jaminanan pelaksanaan (jika ada).
Penyedia membuat surat pernyataan bahwa sanggup menyelesaikan sisa pekerjaan maksimal 90 hari kalender sejak berakhirnya sa pekerjaan, bersedia dikenakan denda keterlambatan, dan tidak menuntut denda/bunga apabila terdapat keterlambatan pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan pada tahun anggaran berikutnya.
PA/KPA menyatakan bersedia mengalokasikan anggaran pada tahun berikutnya untuk membayar sisa pekerjaan yang diselesaikan pada tahun berikutnya.
Catatan:
Berdasarkan Pasal 93 Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015, pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan maksimal 50 hari kalender.
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/MPK.05/2015, pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan maksimal 90 hari kalender.
Perpanjangan waktu kontrak dan pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan dilaksankan sebelum berkahirnya kontrak. Dalam perpanjangan waktu kontrak diperlukan adanya addendum atau perubahan kontrak, sedangkan pemberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan tidak diperlukan adanya addendum perpanjangan waktu, tetapi apabila pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan melampaui tahun anggaran, diperlukan adanya perubahan pembebanan anggaran.
Dalam perpanjangan waktu kontrak tidak dikenakan sanksi berupa denda, namun untuk pemberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan dikenakan denda dengan kondisi sebagai berikut:
1/1000 per hari dari bagian kontrak apabila penyelesaian masing-masing pekerjaan yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tidak tergantung satu sama lain dan memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak tersebut tidak terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.
1/1000 per hari dari total nilai kontrak apabila penyelesaian masing-masing pekerjaan yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tergantung satu sama lain dan tidak memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak tersebut terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.
·         ADENDUM

1.      Pengertian Adendum
Apa itu Adendum, Adendum adalah istilah hukum yang lazim disebut dalam suatu pembuatan perjanjian. Dilihat dari arti katanya, addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan. (John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, hal.11). Pengertian Addendum adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Addendum). Menurut Frans Satriyo Wicaksono, SH dalam buku “Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak” disebutkan jika pada saat kontrak berlangsung ternyata terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam kontrak tersebut, dapat dilakukan musyawarah untuk suatu mufakat akan hal yang belum diatur tersebut. Untuk itu ketentuan atau hal-hal yang belum diatur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama seperti kontrak yang telah dibuat. Pengaturan ini umum ini umum disebut dengan addendum atau amandemen Biasanya klausula yang mengatur tentang addendum dicantumkan pada bagian akhir dari suatu perjanjian pokok. Namun apabila hal tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian, addendum tetap dapat dilakukan sepanjang ada kesepakatan diantara para pihak, dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. Belum ada alasan yang pasti mengapa cara addendum lebih dipilih digunakan daripada membuat perjanjian baru untuk perubahan dan atau penambahan isi dari suatu perjanjian. Namun patut diduga bahwa hal tersebut semata karena alasan kepraktisan serta lebih menghemat waktu dan biaya.